Himpunan Mahasiswa Islam (disingkat
HMI) adalah sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5
Februari 1947, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa
Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta.
Sebelum lahirnya Himpunan Mahasiswa
Islam, terlebih dulu berdiri organisasi kemahasiswaan bernama
Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) pada tahun 1946 yang
beranggotakan seluruh mahasiswa dari tiga Perguruan Tinggi di
Yogyakarta, yaitu Sekolah Tinggi Teknik (STT), Sekolah Tinggi Islam
(STI) dan Balai Perguruan Tinggi Gajahmada yang pada waktu itu hanya
memiliki Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra. Kegiatan yang
diselenggarakan oleh Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta selalu berbau
Kolial Belanda. Sering pesta dengan poloniase, dansa serta minum-minuman
keras.
Oleh karena Persyerikatan Mahasiswa
Yogyakarta dirasa tidak memperhatikan kepentingan para mahasiswa yang
masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tidak tersalurnya aspirasi
keagamaan merupakan alasan kuat bagi para mahasiswa Islam untuk
mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berdiri dan terpisah dari
Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta.
Pada tahun 1946, suasana politik di
Indonesia khususnya di Ibukota Yogyakarta mengalami polarisasi antara
pihak Pemerintah yang dipelopori oleh Partai Sosialis, pimpinan Syahrir –
Amir Syarifuddin dan pihak oposisi yang dipelopori oleh Masyumi,
pimpinan Soekiman – Wali Al-Fatah dan PNI, pimpinan Mangunsarkoro –
Suyono Hadinoto serta Persatuan Pernyangannya Tan Malaka. Polarisasi ini
bermula pada dua pendirian yang saling bertolak belakang, pihak Partai
Sosialis (Pemerintah) menitik beratkan perjuangan memperoleh pengakuan
Indonesia kepada perjuangan berdiplomasi, pihak oposisi pada perjuangan
bersenjata melawan Belanda.
Polarisasi ini membawa mahasiswa yang
juga sebagian besar dari mereka adalah pengurus Persyerikatan Mahasiswa
Yogyakarta berorientasi kepada Partai Sosialis. Melalu mereka inilah
Partai Sosialis mencoba mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta.
Namun mahasiswa yang masih memiliki idealis tidak dapat membiarkan usaha
Partai Sosialis hendak mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta.
Dengan suasana yang sangat kritis dikarenakan Belanda semakin
memperkuatkan diri dengan terus-menerus mendatangkan bala bantuan dengan
persenjataan modern yang kemudian pada tanggal 21 Juli 1947 terjadilah
yang dinamakan Agresi Militer Belanda I. Dengan situasi yang demikian
para mahasiswa yang berideologi murni tetap bersatu menghadapi Belanda,
mencegak setidak-tidaknya mengurangi efek-efek dari polarisasi politik
yang sangat melemahkan potensi Indonesia menghadapi Belanda. Karenanya
mereka menolah keras akan sikap dominasi Partai Sosialis terhadap
mahasiswa yang dinilai akan mengakibatkan dunia mahasiswa terlibat dalam
polarisasi politik.
Berbagai hal ini yang mendorong beberapa
orang mahasiswa untuk mendirikan organisasi baru. Meskipun sebenarnya
jauh sebelum adanya keinginan untuk mendirikan organisasi baru sudah ada
cita-cita akan itu, namun selalu ditunda dan dianggap belum tepat.
Namun melihat dari berbagai kondisi yang ada dirasa cita-cita yang sudah
lama diharapkan itu perlu diwujudkan karena bila membiarkan
Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta lebih lama didominasi oleh Partai
Sosialis adalah hal yang tidak tepat. Penolakan sikap dominasi Partai
Sosialis terhadap Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta tidak hanya datang
dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan juga mahasiswa kristen,
mahasiswa katolik, serta berbagai mahasiswa yang masih menjunjung teguh
ideologi keagamaan.