|
Gambar Dari:
http://rilis.id/2016/05/11/anomali-hmi/ |
Bisakah HMI didefinisikan dengan sebuah aksi? Atau sebuah warna? Atau
sebuah gaya? Bagi saya, yang masuk dan bergaul di HMI di era 2000-an,
HMI adalah sebuah anomali.
Kami, yang menjadi saksi atas marak dan tumbuh menjamurnya
organisasi-organisasi puritan dan ideologi radikal pasca reformasi, bisa
melihat bagaimana HMI justru merespon fenomena “membanjirnya ideologi”
pasca reformasi itu dengan cara yang unik. HMI tak larut tapi juga tak
benar-benar membentengi diri dari gelombang keterbukaan pemikiran pasca
membanjirnya ide-ide dan organisasi-organisasi mahasiswa baru pasca
runtuhnya orde baru. Di saat wacana-wacana “kiri” mendominasi kampus di
akhir 90-an, sementara di saat yang sama wacana “revivalisme politik
islam” mulai tumbuh subur di sisi yang lain, HMI terlibat (dan
benar-benar terlibat dalam pengertian yang sebenarnya) dengan semua
pergulatan wacana itu tapi tak ujug-ujug ikut di satu warna tertentu.
Tak seperti di organisasi mahasiswa Islam lainnya, di HMI 2000-an, wajah
HMI adalah wajah yang tanpa warna, atau lebih tepatnya, sangat kaya
warna.
Di HMI, anda bisa temui anak-anak muda muslim dengan segala warna dan
segala macam tradisi bergelut, berdebat, kadang tak menemukan titik
sepakat, tapi tetap bisa tertawa sama-sama. bisakah anda membayangkan
orang kiri semacam Coen Hosein Pontoh aktifis PRD itu bisa duduk semeja
dengan Ustad Arifin Ilham? Di sudut-sudut kampus, anda bisa temui
anak-anak HMI yang bercelana cingkrang dan berjidat hitam, sementara di
tempat lain, anda bisa dapatkan anak-anak HMI berkaos oblong, dengan
jins sobek-sobek, dengan rambut mohawk. Anda bisa temukan dengan mudah
di HMI, anak-anak keluaran pesantren yang membedah Das Capital selancar
ia mengutip kitab al-umm nya asy-syafi’i. Di HMI, anda tak
hanya bisa temukan mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang mampu mengkritik
dengan fasih buku-buku karya Fritjof Chapra, mahasiswa-mahasiswa
fakultas hukum yang fasih menjelaskan filsafat illuminati suhrawardi,
atau mahasiswa-mahasiswa teknik yang bisa mengkritik ide-ide Joseph
Stiglitz, anda mungkin bahkan bisa menemui calon dokter gigi yang bisa
mengkritik essay-essay Goenawan Mohamad segampang ia mengulas
karya-karya the beatles. Kombinasi yang aneh bukan?
Walhasil, bisakah HMI didefinisikan dengan satu aksi vandalisme?
Tentu saja bisa, jika anda menolak kenyataan bahwa HMI punya seribu
wajah, yang sebagian anda suka, sebagiannya lagi anda tak mungkin suka.
Kita bisa menyebut Nurkholish Madjid, Dawam Rajardjo, atau Djohan Efendi
yang sekuler sebagai warna HMI, tapi kita tak bisa menyangkal kalau Abu
Bakar Baasyir pimpinan jamaah islamiyyah, dan Abdul Aziz Kahar yang
getol memperjuangkan penerapan syariat Islam adalah warna lain HMI.
Kita memang tentu saja lebih familiar dengan nama-nama semacam Anas
Urbaningrum, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, atau Anies Baswedan. Sebab
merekalah yang dekat dengan sorotan kamera, tapi ada banyak hal-hal
(juga nama-nama) lain di HMI yang bekerja jauh dari sorotan kamera.
Sewaktu ikut menjadi tim relawan bencana banjir di Mamuju Tengah
beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan senior HMI yang telah
bertahun-tahun mengelola pesantren yang didirikan di pedalaman di tepi
hutan Mamuju sana. Di tempat lain, sewaktu menyelenggarakan bakti sosial
di pedalaman Sulawesi Tengah, saya bertemu dengan alumni HMI yang telah
bertahun-tahun mengelola sekolah nonformal bagi anak-anak suku kaili di
pedalaman hutan sana. Di pedalaman Sulawesi Barat lainnya, saya bertemu
dengan seorang guru honorer alumni HMI yang telah berpuluh-puluh tahun
mengabdi di sebuah sekolah dasar di pedalaman desa transmigrasi marano.
Daftar ini, bisa saja bertambah panjang, jika anda mau datang ke
makassar, bertemu dengan anak-anak muda HMI.
Di HMI lah, kita bisa melihat wajah Islam indonesia yang sebenarnya.
Dengan segala ide-ide, dari yang puritan hingga yang progresif, bergulat
dan bertarung tak pernah henti. Di HMI lah, pertanyaan-pertanyaan remeh
temeh hingga pertanyaan besar, dari soal shalat lima waktu hingga
pemilu, diulas dengan berbagai macam pendekatan ideologi, meski sebagian
besar pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah selesai. HMI mungkin,
adalah wajah Islam indonesia, dengan segala perdebatannya yang tak
tuntas, juga dengan segala cacat dan boroknya. Juga dengan segala
oknum-oknumnya.
Namun celakanya, yang kita temui di jalan-jalan yang macet karena
demonstrasi, atau yang kita temui di televisi yang dipenuhi berita
korupsi dan sensasi adalah wajah HMI yang penuh borok, wajah HMI yang
jelas-jelas ada dan tak bisa dipungkiri. Tapi maukah kita menilai sebuah
entitas yang tak satu dan penuh anomali itu dari apa yang kita lihat
setengah-setengah dari media sosial dan televisi yang, jikapun tidak
tendensius, setidaknya tidak mampu mewakili wajah HMI yang plural lagi
heterogen itu? Maukah kita mendefinisikan sebuah himpunan—lebih
tepatnya—kumpulan-anak-anak muda yang sesungguhnya tak pernah satu dan
lebih banyak berdebat itu?
Jadi, wajah yang manakah yang sebenarnya mewakili wajah HMI? Wajah
anak-anak muda yang gampang marah seperti yang kita lihat di televisi
beberapa hari terakhir? Atau wajah anak-anak muda yang berdiri bersama
petani-petani di Takalar saat mereka hendak digusur? Tentu anda tak bisa
menemukan jawabannya di televisi dan koran yang kita sama-sama tahu
mengabdi pada kepentingan siapa.
Penulis adalah Dokter Umum di Kab. Enrekang, masih aktif sebagai kader HMI
Sumber : http://rilis.id/2016/05/11/anomali-hmi/